12/22/2013

Oleh: Violla

Kita sempat digegerkan dengan pemberitaan kecelakaan maut yang dialami Abdul Qodir Jaelani (Dul), anak bungsu dari musisi Ahmad Dhani dan Maia Estianty di Tol Jagorawi pada hari Minggu (8/9/2013) pukul 00:45 WIB. Yang menghebohkan, kejadian ini memakan korban hingga ada yang luka-luka bahka meninggal, sedang Dul sendiri juga kritis setelah mengalami kecelakaan. Seiring dengan kabar mengejutkan ini, banyak yang menyayangkan bahwa kecelakaan ini dialami oleh anak yang baru berusia 13 tahun akibat mengendarai mobil sekitar pukul 00:45 WIB yang diketahui belakangan baru saja mengantarkan pacarnya pulang.

Yang banyak jadi perbincangan, baik itu dalam kelompok-kelompok kecil, besar, bahkan media yaitu peryataan bahwa pergaulan anak remaja zaman sekarang sudah terlampau bebas. Hal ini menyorot kasus Dul yang sudah memiliki pacar - pulang malam pada jam yang tidak sewajarnya mengingat usianya yang baru 13 tahun.

Di luar berita kecelakaan maut yang ditimpa anak dari musisi besar ini, mulai bermunculan berita-berita miring tentang foto Dul dan sang pacar yang dianggap cukup mesra. Foto-foto yang sangat mudah didapat di dunia maya tersebut menuai berbagai cibiran, bahkan komentar-komentar yang bermunculan di akun jejaring sosial twitter salah satunya mengatakan,”Bocah 13 tahun aja udah foto beginian gimana udah gedenya”, dan yang lain menyebutkan, “Gue udah 17 taon belum ada nih foto beginian”.

Masalah yang ditimpa Dul adalah potret yang menjadi akar perbincangan hangat mengenai kehidupan remaja belakangan ini. Tanggapan-tanggapan masyarakat mengalir deras, komentar-komentar yang memojokkan sisi pergaulan remaja zaman sekarang berlalu lalang. Gaya hidup anak remaja dipertanyakan, apakah mungkin adat ketimuran bangsa ini telah dibuang entah ke mana. Komentar-komentar kekecewaan tentunya berasal dari mereka yang bukan lagi remaja, para orang dewasa yang menyayangkan pergaulan remaja masa kini.

Tanpa disadari, hal ini seakan menguatkan dogma atau keyakinan bahwa remaja Indonesia banyak yang bertingkah seperti orang dewasa. Hal ini misalnya, menjalin hubungan pacaran pada usia yang cukup dini, memiliki jam pulang yang terlampau malam bahkan pagi, dan memiliki kebebasan mengendarai kendaraan. Lalu bagaimana dengan kontrol orangtua terhadap anak jika sang buah hati pulang malam? Izin dan kontrol sepenuhnya berada di tangan orangtua. Namun jamak kita jumpai bahwa orangtua sendiri yang telah ‘membolehkan’ arus kebebasan berteman baik dengan anaknya. 

Pola hidup remaja sendiri sedikit banyak bisa kita saksikan dalam tayangan film, sinetron atau iklan-iklan yang dimainkan dan disajikan untuk remaja. Tayangan-tayangan tersebut kebanyakan menggambarkan romantika percintaan remaja. Siapakah yang membuat tayangan-tayangan tersebut? Remajakah? Saya rasa bukan, remaja di sini dijadikan sasaran empuk tayangan-tayangan media. Tanpa kita sadari, para generasi dewasa telah lalai memberi contoh perilaku baik bagi remaja.

Tayangan-tayangan yang sangat sedikit atau tidak memberikan efek positif bagi remaja ini secara langsung mempengaruhi pola hidup remaja yang memang pada masanya cenderung ‘ikut-ikutan’, jati diri yang belum kokoh dan mudah terpengaruh. Pertanyaannya, tayangan-tayangan tersebut diadaptasi dari kehidupan remaja atau malah sebaliknya? Apakah justru para remaja yang mengadaptasi tayangan-tayangan tersebut dalam kesehariannya? Jika memang tayangan tersebut yang mengadaptasi rona kehidupan remaja yang membuat geleng-geleng kepala, semakin tayangan ‘khusus’ remaja tersebut bertambah, semakin dirasa ‘lumrah’ juga pergaulan anak zaman sekarang.

Pendapat-pendapat miring tentang keseharian remaja juga tak luput dari gaya hidup anak remaja yang lebih terkesan bermewah-mewahan. Pakaian-pakaian yang dicap keren bagi remaja justru kebanyakan menunjukkan style kebarat-baratan. Apa mungkin mereka mengikuti mode tersebut bila tidak melihat contoh sebelumnya? Kita bisa lihat sendiri, tayangan-tayangan remaja yang sebagian besar menunjukkan hidup ala anak kota. Gaya berpacaran yang semakin dini serta izin berkendara yang sepertinya sudah hak orangtua, bukan pihak berwajib lagi. Sekali lagi, otak remaja akan mencontoh apa yang telah sering mereka lihat dan dirasa lumrah. Sebenarnya, entah siapa yang telah mencuci otak remaja bangsa ini. Orangtua sendiri seolah memberi surat izin tak tertulis untuk mendukung gaya hidup yang digandrungi anak-anak muda zaman sekarang.

Tampaknya cibiran bahwa perilaku anak remaja sekarang memprihatinkan patut dilengkapi pernyataan bahwa betapa longgarnya pengawasan dan batasan orang dewasa zaman sekarang terhadap kontrol kehidupan anak. Anak sendiri lebih membutuhkan contoh dan batasan yang baik, jika batasan saja sudah dilonggarkan untuk anak terang saja bila pergaulan semakin tidak terkontrol. Apakah remaja yang murni membentuk roda pergaulan yang ‘katanya’ sudah tidak seperti dulu lagi? Mari kita pikirkan bersama, apa penyebab remaja sekarang seolah tak mengindahkan adat ketimuran bangsa, jangan-jangan kita, para generasi yang telah mendahului, telah lalai dan tak mampu memegang kendali terhadap batasan bagi remaja.

LLaviosa Gita . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates