Kuman Oh Kuman -_-
“Bukan,”
dokter pria bermata sipit itu menggeleng cepat. Kutunjukkan lagi bagian lenganku
yang lain, “Bukan,” kata-kata itu keluar dari mulutnya lagi. Baiklah, akan
kuperlihatkan di bagian jari dan pergelangan tangan, “Bukan,” lagi-lagi ia menggeleng. Dan akhirnya
kuperlihatkan “sesuatu” yang melekat di bagian pahaku, “Bukan.” Aishh, kata
BUKAN selalu terlontar dari mulut dokter Klinik Kepa Duri ini.
Ada yang
tahu arah cerita ini ke mana?
Baiklah,
mari kita flashback. Terhitung tanggal 1 Juli, sebuah bintik kemerahan
muncul di paha sebelah kananku. Ya, sebuah bulatan merah yang di tengahnya
tampak kekuningan melebar. Apa ini? Bisulkah? Tentu saja bukan, sungguh aku
mengenal baik bagaimana bentuk bisul, ini bukan bisul! Lalu apa? Keparnoanku
menyeruak ditambah keesokan harinya sebuah bintik merah tumbuh di telapak
tangan kananku. Telapak kanan, saudara-saudara! Ini hal yang aneh, aku semakin
was-was. Bintik merah serupa menghiasi punggung jari manis sebelah kiriku, lalu
di pergelangan lengan kiriku juga. Dan sebuah noda memerah yang agak berbeda
muncul di lengan kananku.
Ya Tuhan, apa ini? #LebayModeOn Aku tidak bisa
tinggal diam. Setiap teman yang kutemui pasti kutanya, “Ih, ini apa, ya?” lalu
dengan bangganya kutunjukan bintik-bintik merah yang merajalela di tubuhku ini
(padahal hanya 5 bintik merah termasuk yang di paha). Semua teman menggeleng.
Aku menerka-nerka, apa ini kutu air? Hei, kutu air tidak menguasai daerah paha.
“Apa mungkin cacar?” akhirnya seorang teman mengeluarkan statement yang
tak ingin kudengar, sebenarnya aku juga sudah was-was akan datangnya hari ini.
Ini tidak bisa dibiarkan, masa iya di detik-detik menjelang mudik aku harus
kena cacar?
Baiklah,
untuk menguatkan dugaan, aku menanyai Mbah Google bagaimana bentuk cacar itu.
Astaga, kalian tahu, bentuk cacar, lebih tepatnya lagi cacar air sangat mirip
dengan bintik-bintik yang ada di kulitku. Kemudian aku langsung menelusuri
gejala bila terkena cacar air, di sana tertera demam, meriang, badan terasa
letih, dan sebagainya. Aku mengingat-ingat, apa aku mengalami gejala ini?
Seminggu yang lalu aku memang merasa sedikit demam, lalu beberapa hari yang
lalu badanku rasanya mau ambruk. Kupikir ini efek sedang menstruasi, tapi
ternyata ini bisa jadi indikasi cacar air.
Akhirnya 3
Juli 2014 malam, Rahma dengan setia menemaniku ke Klinik Kepa Duri. Dengan
sabar dokter berwajah oriental di sana mendengarkan maksud kedatanganku. Dan
ketika kutunjukkan seluruh bintik-bintik merah di tubuhku, ia selalu mengatakan,
“Bukan.”
Aku terdiam,
dokter lalu bilang, “Ini karena kuman.”
Oh, tidak!
Jadi keparnoanku akan cacar air hanyalah sejenis ide paranoid saja? Dan aku
jauh-jauh ke klinik mengeluarkan biaya pemeriksaan dan obat hanya gara-gara
kuman yang mengganggu kulitku?
*Pesan
moral: Bahkan Tuhan pun menjadikan kuman tokoh utama dalam ajang membagikan
rezeki pada pegawai klinik.