Busway Oh Busway
“Hore, kita naik busway, ‘kan? Akhirnya kesampean juga pengen naik busway,” Evita lonjak-lonjak kegirangan. “Udik amat sih, lo. Malu tau,” Tiara berbisik di dalam angkot, takut-takut penumpang lain mendengar tawa bahagia Evita yang ngebet banget pengen naik busway. Aku adem ayem aja walaupun seneng juga baru pertama kali naik busway, tapi jaga image dikit, masa mau diumbar gitu?
Angkot pun berhenti, kami jalan kaki melintasi jembatan penyeberangan hingga
akhirnya dua orang cowok yang niat nganterin tiga cewek cakep yaitu aku, Tiara,
dan Evita tiba-tiba mau balik nggak bisa nganterin ke tempat tujuan. Spontan,
aku kehilangan arah, hati ini tak tentu, Tiara galau, Evita mewek, tahu nggak,
kita itu nggak tahu jalan dan belum pernah pergi kayak gini.
Selepas
kepergian mereka, tinggallah kami bertiga di bawah terik matahari di pinggir
jalan, terselimuti butiran debu, pengen banget nyanyi lagu Butiran Debu di
saat-saat kayak gini. ”Udah, kita nekat aja nanya-nanya orang entar jalannya,”
Tiara matanya mulai berkaca-kaca, mungkin matanya pengen bilang, ‘ini Jakarta,
Bro. Belum nyampe setengah tahun gue tinggal di sini, terus ditelantarin di
pinggir jalan? Terlalu cakep gue buat ditelantarin’.
Dengan modal nanya sana-sini, kaki pegel naik tangga yang lumayan bikin kaki
berotot, sampai juga kami di tempat pembelian karcis busway. Loyo,
kalau nyasar ini bagaimana? Ngantri di deretan panjang dan desak-desakkan,
Evita yang kejepit di antara orang-orang menggunakan tenaga yang tersisa buat
bilang, “Gue nggak mau lagi naik busway.” Dalam hati aku risih
banget, badan ini
terhimpit-himpit hingga akhirnya dengan napas tersengal-sengal, mulutku
berontak dan ngomong sama mas-mas di belakang antrian, “Mas jangan
dorong-dorong, dong.” Aku malah diteriakin, “Yah, nggak tau Jakarta, ya?” atau
mungkin mas-masnya mau bilang ‘terus gue harus bilang WOW gitu sambil berhitung
satu sampai sepuluh?’
Dengan penuh perjuangan nyampe juga di antrian depan, begitu busway berhenti
Tiara langsung masuk, lalu wuuuuuuushh… Busway pergi tanpa
pamit, aku dan Evita saling tatap, bengong, “Yaahh… lewat, kita gimana?” Evita
mewek lagi, di saat kayak gini udah bingung mau nyanyi lagu apa. Akhirnya
dengan keudikan nggak pernah naik busway, aku dan Evita tetap nunggu busway yang
selanjutnya sampe Tiara mengirimkan SMS kalau nanti ketemuannya pas
transit busway.
Dan akhirnya kami pun bertemu di tempat transit busway,
mata Tiara merah, “Kalian tau nggak tadi pas di busway air
mata gue netes tau. Gara-gara kita ditinggalin di pinggir jalan tadi ditambah
masuk busway sendirian. Gue takut kalian nggak nyusul gue, tapi malah pulang.”
Halah, aku
bernostalgia sedikit sebagai anak baru masuk kota. Ini tahun tergila yang masuk
rekor buku harianku. Tahun ini, tahun pertama aku menghirup napas
dalam-dalam di perguruan tinggi dan tahun pertama aku tinggal di hutan beton
ibukota ini. Anak kota memang berbeda, ngomongnya pake ‘gue-elo’, anak daerah
yang berdatangan di sini pun nggak kalah gaulnya membiasakan lidah ngomong
‘gue, elo, kepo, woles’ dan segala macam omongan anak yang biasa dibilang gaul.
Lidah aku yang udah terbiasa bersilat tanpa ‘gue-elo’ juga nggak mau dipaksa
latihan ngomong gaul. Tapi ini bukan hal yang penting juga, toh teman-temanku
manusia semua kok, jadi masih ngerti diajak ngomong pake bahasa Indonesia.
Nggak nyangka aja bisa satu kamar kos dengan anak satu rumpun daerah Sumatera,
namanya Tiara. Dia dari Jambi, aku dari Bangka. Satu lagi teman satu kost dari
Serang, Banten. Kami bertiga sama-sama mahasiswi baru jurusan psikologi.
Yang namanya kuliah pasti ada buku yang harus dibeli, dengan kantong pas-pasan
ala anak kostan, akhirnya aku, Tiara, dan Evita membulatkan niat pergi ke tempat yang
jual buku-buku murah, di Senen. Dengan tampang lugu bukan anak kota, tiga hati
kami yang menggebu mau banget dapet buku murah, pergi naik angkot tanpa tahu
rute Senen itu di mana.
Dan akhirnya modal nekat ini membawa kami jauh dari tempat kami, Jakarta Barat. Terombang-ambing dengan niat ingin naik busway, sungguh benar-benar kami tiga gadis polos ini
tidak tahu kalau Senen bukan di Jakarta Barat. Alhasil pulang agak malam adalah
resiko, lagi-lagi mengantri untuk naik busway. Aku yang tidak bisa
diam, celingak-celinguk melototin orang-orang, takut ada copet. Pandanganku
tertuju sama cowok di belakang Tiara, bukan karena cowok itu ganteng, sama
sekali bukan. Cowok itu nggak ganteng, malah culun, dia ngeliatin Tiara terus,
‘jangan-jangan copet’ firasatku bergerak, aku pelototin cowok itu dengan
harapan dia takut, eh, malah dia melotot balik.
Mungkin aku terlalu cakep, melotot aja cakep, jadi orang pun harus melotot juga
buat ngeliat kecantikan aku secara penuh, mungkin aja cowok itu mau nyanyi lagu
yang judulnya Terpesona. Acara
desak-desakkan pun berakhir, kami berhasil meloloskan diri dan kabur ke
dalam busway, AC yang berhembus lumayan
menyejukkan, tapi tiba-tiba bau kentut yang tidak diketahui asalnya menyerang
hidung. Penderitaan apa ini?
Di tengah-tengah polusi udara yang membuat aku tersengal-sengal, kembali mata
ini minta melotot, cowok yang ngeliatin Tiara di antrian busway malah
berdiri di dekat Tiara, kayaknya dia sedikit kepo sama Tiara. Tiara yang tertangkap basah
lagi ngobrol sama cowok itu langsung mewek dan mewek, istilahnya mewek
kuadratlah.
Penyiksaan panjang di dalam busway akhirnya berakhir, kami
bertiga turun dari busway dan Tiara mencolek Evita, “Ciee,
yang seneng baru naik busway.”
“Nggak mau lagi
gue!” Evita melotot, hari ini sungguh hari penyambutan ibukota, hari
penelantaran, harinya konser lagu Butiran Debu, sungguh, tiga cewek
cakep nggak mau lagi naik busway.