5/20/2013




    “Hore, kita naik busway, ‘kan? Akhirnya kesampean juga pengen naik busway,” Evita lonjak-lonjak kegirangan. “Udik amat sih, lo. Malu tau,” Tiara berbisik di dalam angkot, takut-takut penumpang lain mendengar tawa bahagia Evita yang ngebet banget pengen naik busway. Aku adem ayem aja walaupun seneng juga  baru pertama kali naik busway, tapi jaga image dikit, masa mau diumbar gitu?


          Angkot pun berhenti, kami jalan kaki melintasi jembatan penyeberangan hingga akhirnya dua orang cowok yang niat nganterin tiga cewek cakep yaitu aku, Tiara, dan Evita tiba-tiba mau balik nggak bisa nganterin ke tempat tujuan. Spontan, aku kehilangan arah, hati ini tak tentu, Tiara galau, Evita mewek, tahu nggak, kita itu nggak tahu jalan dan belum pernah pergi kayak gini.



         Selepas kepergian mereka, tinggallah kami bertiga di bawah terik matahari di pinggir jalan, terselimuti butiran debu, pengen banget nyanyi lagu Butiran Debu di saat-saat kayak gini. ”Udah, kita nekat aja nanya-nanya orang entar jalannya,” Tiara matanya mulai berkaca-kaca, mungkin matanya pengen bilang, ‘ini Jakarta, Bro. Belum nyampe setengah tahun gue tinggal di sini, terus ditelantarin di pinggir jalan? Terlalu cakep gue buat ditelantarin’.


          Dengan modal nanya sana-sini, kaki pegel naik tangga yang lumayan bikin kaki berotot, sampai juga kami di tempat pembelian karcis busway. Loyo, kalau nyasar ini bagaimana? Ngantri di deretan panjang dan desak-desakkan, Evita yang kejepit di antara orang-orang menggunakan tenaga yang tersisa buat bilang, “Gue nggak mau lagi naik busway.” Dalam hati aku risih banget,  badan ini terhimpit-himpit hingga akhirnya dengan napas tersengal-sengal, mulutku berontak dan ngomong sama mas-mas di belakang antrian, “Mas jangan dorong-dorong, dong.” Aku malah diteriakin, “Yah, nggak tau Jakarta, ya?” atau mungkin mas-masnya mau bilang ‘terus gue harus bilang WOW gitu sambil berhitung satu sampai sepuluh?’


          Dengan penuh perjuangan nyampe juga di antrian depan, begitu busway berhenti Tiara langsung masuk, lalu wuuuuuuushh… Busway pergi tanpa pamit, aku dan Evita saling tatap, bengong, “Yaahh… lewat, kita gimana?” Evita mewek lagi, di saat kayak gini udah bingung mau nyanyi lagu apa. Akhirnya dengan keudikan nggak pernah naik busway, aku dan Evita tetap nunggu busway yang selanjutnya sampe Tiara mengirimkan SMS kalau nanti ketemuannya pas transit busway.


          Dan akhirnya kami pun bertemu di tempat transit busway, mata Tiara merah, “Kalian tau nggak tadi pas di busway air mata gue netes tau. Gara-gara kita ditinggalin di pinggir jalan tadi ditambah masuk busway sendirian. Gue takut kalian nggak nyusul gue, tapi malah pulang.”


 Halah, aku bernostalgia sedikit sebagai anak baru masuk kota. Ini tahun tergila yang masuk rekor buku harianku.  Tahun ini, tahun pertama aku menghirup napas dalam-dalam di perguruan tinggi dan tahun pertama aku tinggal di hutan beton ibukota ini. Anak kota memang berbeda, ngomongnya pake ‘gue-elo’, anak daerah yang berdatangan di sini pun nggak kalah gaulnya membiasakan lidah ngomong ‘gue, elo, kepo, woles’ dan segala macam omongan anak yang biasa dibilang gaul.


          Lidah aku yang udah terbiasa bersilat tanpa ‘gue-elo’ juga nggak mau dipaksa latihan ngomong gaul. Tapi ini bukan hal yang penting juga, toh teman-temanku manusia semua kok, jadi masih ngerti diajak ngomong pake bahasa Indonesia. Nggak nyangka aja bisa satu kamar kos dengan anak satu rumpun daerah Sumatera, namanya Tiara. Dia dari Jambi, aku dari Bangka. Satu lagi teman satu kost dari Serang, Banten. Kami bertiga sama-sama mahasiswi baru jurusan psikologi.


          Yang namanya kuliah pasti ada buku yang harus dibeli, dengan kantong pas-pasan ala anak kostan, akhirnya aku, Tiara, dan Evita membulatkan niat pergi ke tempat yang jual buku-buku murah, di Senen. Dengan tampang lugu bukan anak kota, tiga hati kami yang menggebu mau banget dapet buku murah, pergi naik angkot tanpa tahu rute Senen itu di mana.


          Dan akhirnya modal nekat ini membawa kami jauh dari tempat kami, Jakarta Barat. Terombang-ambing dengan niat ingin naik busway, sungguh benar-benar kami tiga gadis polos ini tidak tahu kalau Senen bukan di Jakarta Barat. Alhasil pulang agak malam adalah resiko, lagi-lagi mengantri untuk naik busway. Aku yang tidak bisa diam, celingak-celinguk melototin orang-orang, takut ada copet. Pandanganku tertuju sama cowok di belakang Tiara, bukan karena cowok itu ganteng, sama sekali bukan. Cowok itu nggak ganteng, malah culun, dia ngeliatin Tiara terus, ‘jangan-jangan copet’ firasatku bergerak, aku pelototin cowok itu dengan harapan dia takut, eh, malah dia melotot balik.


          Mungkin aku terlalu cakep, melotot aja cakep, jadi orang pun harus melotot juga buat ngeliat kecantikan aku secara penuh, mungkin aja cowok itu mau nyanyi lagu yang judulnya Terpesona. Acara desak-desakkan pun berakhir, kami berhasil meloloskan diri dan kabur ke dalam buswayAC yang berhembus lumayan menyejukkan, tapi tiba-tiba bau kentut yang tidak diketahui asalnya menyerang hidung. Penderitaan apa ini?


          Di tengah-tengah polusi udara yang membuat aku tersengal-sengal, kembali mata ini minta melotot, cowok yang ngeliatin Tiara di antrian busway malah berdiri di dekat Tiara, kayaknya dia sedikit kepo sama Tiara. Tiara yang tertangkap basah lagi ngobrol sama cowok itu langsung mewek dan mewek, istilahnya mewek kuadratlah.


          Penyiksaan panjang di dalam busway akhirnya berakhir, kami bertiga turun dari busway dan Tiara mencolek Evita, “Ciee, yang seneng baru naik busway.”


“Nggak mau lagi gue!” Evita melotot, hari ini sungguh hari penyambutan ibukota, hari penelantaran, harinya konser lagu Butiran Debu, sungguh, tiga cewek cakep nggak mau lagi naik busway.





LLaviosa Gita . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates